Kehamilan
yang bahagia adalah dambaan setiap Ibu hamil. Tapi jatuh bangun yang
terjadi di kehamilan kedua saya membuat saya jauh dari kata bahagia. Ada
saja masalah yang mengganggu fikiran, dari masalah hubungan sampai
masalah drama asisten rumah tangga.
Momen
kehamilan tersebut tidak akan pernah terlupakan. Jujur, kehamilan kedua
ini tidak terencanakan, karena si sulung baru berusia 1.5 tahun. Baru
saja saya belajar menjadi Istri dan Ibu, tiba-tiba saya akan menjadi Ibu
dari dua anak. Sungguh saya bingung dan stres.
Setelah
melewati fase dimana saya tidak terima dengan kehamilan ini, saya
memilih untuk selalu berpikir positif dan lebih mempelajari lagi tentang
melahirkan yang minim trauma atau biasa disebut Gentle Birth.
Melahirkan
anak pertama terdahulu, saya masih sangat minim ilmu, saya terjebak
untuk melahirkan secara operasi caesar, dengan masalah serupa, yaitu
ketuban pecah dini diusia kandungan yang memang sudah cukup. Tapi dengan
pengalaman tersebut, menyisakan trauma berarti karena pemulihan yang
sangat lama dan sakit sekali.
Saya
bertekad untuk melahirkan secara normal atau popular dengan nama
Vaginal Birth After Caesarian(VBAC). Banyak upaya yang saya lakukan.
Membaca artikel-artikel seputar kehamilan dari https://id.theasianparent.com/ , menimba ilmu dari para ahli, berolah raga (prenatal gentle yoga), mencari dokter atau bidan yang terbaik, dan tidak lupa utamakan berdoa.
Semua
usaha tersebut runtuh ketika ketuban saya pecah dini atau disingkat
KPD. Hingga detik dimana ketuban saya pecah, saya masih ingin
mengusahakan supaya saya tidak lagi berada di kamar operasi dengan tetap
mencari info seputar KPD, walaupun ini bukan pertama kali saya hadapi. Saya membaca di artikel The AsiantParent dan membayangkan melahirkan dengan indah dan terus berdoa agar usaha-usaha saya membuahkan hasil.
Cerita
berawal dari bulan ke tujuh kehamilan, saya sudah kedatangan Asisten
Rumah Tangga(ART) baru untuk mambantu saya, tapi tidak sampai satu bulan
ART minta pulang. Lalu memasuki usia kehamilan 8 bulan, masalah besar
datang dan tiba-tiba saya mengalami pecah ketuban, padahal usia
kandungan baru 33 minggu dan berat janin baru 2.2 kilogam.
Beruntung,
pecah ketuban yang saya alami terjadi saat saya sedang mengantri dokter
kandungan di sebuah klinik bidan. Dokter pun bergegas merujuk saya ke
salah satu rumah sakit besar di Jakarta Pusat yang jaraknya cukup jauh
dari tempat tinggal kami di Jakarta Timur, khawatir saya harus
melahirkan dan bayi yang saya kandung belum matang dan butuh NICU.
Klinik
bidan tersebut merekomendasikan seorang dokter fetomaternal dan tetap
mendampingi saya hingga masuk ke IGD. Bersyukur, bidan dan dokter
tersebut selalu membuat kami tenang dan memberikan kabar baik. Bahwa
saya tidak harus melahirkan saat itu juga dan masih bisa mempertahankan
kehamilan dengan syarat saya harus bedrest total.
Kenapa
saya masih bisa mempertahankan kehamilan saya? Ternyata ketuban saya
sangat banyak dan pecah ketuban yang saya alam itu hanya merembes.
Padahal yang terjadi, celana saya sudah basah kuyup tapi hasilnya tidak
ada kebocoran signifikan, semua masih normal dan baik-baik saja.
Tidak
lama saya dirawat di Rumah Sakit, saya pulang dan menjalani bedrest,
minum obat dan harus terus minum air mineral supaya ketuban saya bisa
selalu normal atau seimbang.
Saya juga mencari
tahu air mineral apa yang bagus untuk air ketuban saya, percaya atau
tidak, saya mengonsumsi air mineral dengan pH tinggi, walaupun kata
dokter sama saja, tapi saya percaya, itu membuat ketuban saya selalu
setabil, asalkan saya tidak banyak bergerak yang akan mengakibatkan
ketuban saya akan rembes lagi.
Hari-hari
bedrest saya lalui dengan tidak nyaman. Si sulung tantrum hebat karena
melihat saya hanya berbaring, padahal kami biasa melakukan kegiatan
bersama-sama seharian. Ia sempat sakit dan membuat saya dilema, apa
semestinya saya melahirkan segera dan kembali bermain bersamanya,
sedangkan targetnya, saya bisa mempertahankan hingga 37 minggu atau
setidaknya satu bulan hingga bisa melahirkan secara normal.
Dokter
pun menyuruh saya untuk rajin kontrol setidaknya seminggu sekali. Tapi,
mempertahankan sebulan itu tidak mudah. Terkadang ketuban saya masih
rembes karena saya harus bergerak.
Bedrest dengan kodisi KPD
itu badan pegal-pegal, harus sering ganti baju karena basah, tidur
dialasi perlak, tidak bisa buang air kecil di kamar mandi jadi harus
memakai pospak, apalagi jika sedang kontrol ke dokter.
Akhirnya
kami menyerah di 35 minggu kehamilan, terhitung sudah dua minggu saya
bedrest dengan kondisi keluarga sudah kerepotan. Pikiran suami terpecah,
antara pekerjaan, keadaan saya dan si sulung. Badan saya sudah sakit
tidak karuan lama-lama saya menyerah. Si sulung juga menjadi bahan
pertimbangan terberat kami untuk melahirkan segera.
Minggu
ke 35 tersebut saya berangkat ke Rumah Sakit untuk konsultasi ke dokter
agar dijadwalkan operasi jika berat janin sudah cukup bagus. Dokter
sangat kooperatif dan memastikan bahwa bayi kami sekarang sudah jauh
lebih baik daripada 2 minggu lalu. Saya sudah melakukan beberapa kali
penyuntikan pemantangkan paru si bayi. Rasanya tidak enak, Bun! Seperti
kesemutan sebadan, untungnya hanya beberapa menit.
Saat
kontrol tersebut beratnya sudah di angka 2.7 kilogram. Operasi akan
dilakukan empat hari setelahnya, itu berati masih ada waktu
memaksimalkan keadaan janin,Walaupun sedih dan sempat menangis ketika
kembali ke ruang operasi, kami tetap bersyukur, anak kedua kami lahir
seberat 2.99 kg dan matang sempurna tidak seperti yang kami bayangkan
sebelumnya. Usaha kami tidak sia-sia, kini Ia sudah berusia 13 bulan.
Semua
pengalaman ini bisa menjadi pelajaran agar segala hal di rumah tangga
harus dikomunikasikan bersama. Jangan sampai seorang Istri atau Ibu
berjuang sendiri tanpa support system. Hal paling penting adalah anak
lahir dengan sehat, Ibu melahirkan dengan selamat dan bahagia menyambut
buah hatinya dan jangan sampai menyesal dikemudian hari.