Rabu, 16 Desember 2020

Ketuban Pecah DiniBedrest Dua Minggu

 

Kehamilan yang bahagia adalah dambaan setiap Ibu hamil. Tapi jatuh bangun yang terjadi di kehamilan kedua saya membuat saya jauh dari kata bahagia. Ada saja masalah yang mengganggu fikiran, dari masalah hubungan sampai masalah drama asisten rumah tangga. 

Momen kehamilan tersebut tidak akan pernah terlupakan. Jujur, kehamilan kedua ini tidak  terencanakan, karena si sulung baru berusia 1.5 tahun. Baru saja saya belajar menjadi Istri dan Ibu, tiba-tiba saya akan menjadi Ibu dari dua anak. Sungguh saya bingung dan stres.

Setelah melewati fase dimana saya tidak terima dengan kehamilan ini, saya memilih untuk selalu berpikir positif dan lebih mempelajari lagi tentang melahirkan yang minim trauma atau biasa disebut Gentle Birth.

Melahirkan anak pertama terdahulu, saya masih sangat minim ilmu, saya terjebak untuk melahirkan secara operasi caesar, dengan masalah serupa, yaitu ketuban pecah dini diusia kandungan yang memang sudah cukup. Tapi dengan pengalaman tersebut, menyisakan trauma berarti karena pemulihan yang sangat lama dan sakit sekali.

Saya bertekad untuk melahirkan secara normal atau popular dengan nama Vaginal Birth After Caesarian(VBAC). Banyak upaya yang saya lakukan. Membaca artikel-artikel seputar kehamilan dari https://id.theasianparent.com/ , menimba ilmu dari para ahli, berolah raga (prenatal gentle yoga), mencari dokter atau bidan yang terbaik, dan tidak lupa utamakan berdoa.

Semua usaha tersebut runtuh ketika ketuban saya pecah dini atau disingkat KPD. Hingga detik dimana ketuban saya pecah, saya masih ingin mengusahakan supaya saya tidak lagi berada di kamar operasi dengan tetap mencari info seputar KPD, walaupun ini bukan pertama kali saya hadapi. Saya membaca di artikel The AsiantParent dan membayangkan melahirkan dengan indah dan terus berdoa agar usaha-usaha saya membuahkan hasil.

Cerita berawal dari bulan ke tujuh kehamilan, saya sudah kedatangan Asisten Rumah Tangga(ART) baru untuk mambantu saya, tapi tidak sampai satu bulan ART minta pulang. Lalu memasuki usia kehamilan 8 bulan, masalah besar datang dan tiba-tiba saya mengalami pecah ketuban, padahal usia kandungan baru 33 minggu dan berat janin baru 2.2 kilogam. 

Beruntung, pecah ketuban yang saya alami terjadi saat saya sedang mengantri dokter kandungan di sebuah klinik bidan. Dokter pun bergegas merujuk saya ke salah satu rumah sakit besar di Jakarta Pusat yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal kami di Jakarta Timur, khawatir saya harus melahirkan dan bayi yang saya kandung belum matang dan butuh NICU. 

Klinik bidan tersebut merekomendasikan seorang dokter fetomaternal dan tetap mendampingi saya hingga masuk ke IGD. Bersyukur, bidan dan dokter tersebut selalu membuat kami tenang dan memberikan kabar baik. Bahwa saya tidak harus melahirkan saat itu juga dan masih bisa mempertahankan kehamilan dengan syarat saya harus bedrest total. 

Kenapa saya masih bisa mempertahankan kehamilan saya? Ternyata ketuban saya sangat banyak dan pecah ketuban yang saya alam itu hanya merembes. Padahal yang terjadi, celana saya sudah basah kuyup tapi hasilnya tidak ada kebocoran signifikan, semua masih normal dan baik-baik saja. 
Tidak lama saya dirawat di Rumah Sakit, saya pulang dan menjalani bedrest, minum obat dan harus terus minum air mineral supaya ketuban saya bisa selalu normal atau seimbang. 

Saya juga mencari tahu air mineral apa yang bagus untuk air ketuban saya, percaya atau tidak, saya mengonsumsi air mineral dengan pH tinggi, walaupun kata dokter sama saja, tapi saya percaya, itu membuat ketuban saya selalu setabil, asalkan saya tidak banyak bergerak yang akan mengakibatkan ketuban saya akan rembes lagi. 

Hari-hari bedrest saya lalui dengan tidak nyaman. Si sulung tantrum hebat karena melihat saya hanya berbaring, padahal kami biasa melakukan kegiatan bersama-sama seharian. Ia sempat sakit dan membuat saya dilema, apa semestinya saya melahirkan segera dan kembali bermain bersamanya, sedangkan targetnya, saya bisa mempertahankan hingga 37 minggu atau setidaknya satu bulan hingga bisa melahirkan secara normal. 

Dokter pun menyuruh saya untuk rajin kontrol setidaknya seminggu sekali. Tapi, mempertahankan sebulan itu tidak mudah. Terkadang ketuban saya masih rembes karena saya harus bergerak. 
Bedrest dengan kodisi KPD itu badan pegal-pegal, harus sering ganti baju karena basah, tidur dialasi perlak, tidak bisa buang air kecil di kamar mandi jadi harus memakai pospak, apalagi jika sedang kontrol ke dokter.

Akhirnya kami menyerah di 35 minggu kehamilan, terhitung sudah dua minggu saya bedrest dengan kondisi keluarga sudah kerepotan. Pikiran suami terpecah, antara pekerjaan, keadaan saya dan si sulung. Badan saya sudah sakit tidak karuan lama-lama saya menyerah. Si sulung juga menjadi bahan pertimbangan terberat kami untuk melahirkan segera.

Minggu ke 35 tersebut saya berangkat ke Rumah Sakit untuk konsultasi ke dokter agar dijadwalkan operasi jika berat janin sudah cukup bagus. Dokter sangat kooperatif dan memastikan bahwa bayi kami sekarang sudah jauh lebih baik daripada 2 minggu lalu. Saya sudah melakukan beberapa kali penyuntikan pemantangkan paru si bayi. Rasanya tidak enak, Bun! Seperti kesemutan sebadan, untungnya hanya beberapa menit. 

Saat kontrol tersebut beratnya  sudah di angka 2.7 kilogram. Operasi akan dilakukan empat hari setelahnya, itu berati masih ada waktu memaksimalkan keadaan janin,Walaupun sedih dan sempat menangis ketika kembali ke ruang operasi, kami tetap bersyukur, anak kedua kami lahir seberat 2.99 kg dan matang sempurna tidak seperti yang kami bayangkan sebelumnya. Usaha kami tidak sia-sia, kini Ia sudah berusia 13 bulan. 

Semua pengalaman ini bisa menjadi pelajaran agar segala hal di rumah tangga harus dikomunikasikan bersama. Jangan sampai seorang Istri atau Ibu  berjuang sendiri tanpa support system. Hal paling penting adalah anak lahir dengan sehat, Ibu melahirkan dengan selamat dan bahagia menyambut buah hatinya dan jangan sampai menyesal dikemudian hari.