Selasa, 13 April 2021

Satu Tahun Pandemi

 halooooo

haloooooo

halooooooo

haloooooo


Lelah kalau ngomongin negativenya, pakai ilmu mindfull dan acceptance, hidup saya setahun belakang jadi lebih bahagia. Akhirnya setahun ini bisa ngelewatin ombak dan arus kencang. Sempat stress juga menghadapi anak dan suami, akhirnya bisa release karna allah dan diri sendiri.

Ada hal yang saya benar-benar pegang agar anak-anak saya tetap tumbuh sesuai dengan perkembangannya.  Awal-awal pandemi, anak-anak saya suguhkan menonton. Namun, saya tersadar karena anak kedua masih bayi, dan saya ingin setidaknya otaknya tidak terkontaminasi dengan tayangan televisi. Akhirnya saya memutuskan untuk menyimpan TV dan melakukan banyak kegiatan bersama anak-anak. 

Hasilnya? Saya kelelelahan. Pagi saya bermain sepeda keliling komplek perumahan, lalu bermain dengan teman-teman komplek sehari 2x. Hasilnya kami harus selalu keluar rumah. 

Akhirnya disaat anak kedua sudah usia 1 tahunan, saya kembali memberi tontonan ke anak-anak. Hanya sebatas tontonan televisi yang sederhana. 

Saya akui, tidak mudah membersamai anak-anak saat pandemi, karena Saya hanya seorang diri mengurus anak-anak. Mental dan fisik saya selalu di uji. 

Lalu bagaimana dengan Satu tahun saya kebelakang? Apa akhirnya saya tetap bahagia? Iya saya lebih bahagia membersamai anak-anak saya karena berbagai hal. 

1. Batasi Screen Time

Anak saya adalah anak yang sensitive jika sudah kebanyakan screen time, apalagi YouTube. Bisa tantrum hebat kalau dilepaskan gadgetnya. Kalau nonton di TV pun saya tidak mau anak saya hanya terpaku televisi dan tidak kembali ke fitrahnya untuk bermain atau memegang mainan-mainannya. Saya lebih sedih jika rumah saya rapi karena anak saya tidak bermain dengan mainannya. Si kakak hanya memegang gadget 1 jam selama sehari, itu pun di lakukan masing-masing 15-30 menit saja setiap menonton. 

2. Jadwalkan Waktu Tidur. 

Waktu tidur yang konsisten itu penting sekali. Bagi Saya, anak-anak tidak boleh melewati waktu deep sleep mereka yaitu jam 11 malam, jadi maksimal anak-anak tidur jam 10 malam. Pagi hari sebelum setangan 8 pagi mereka harus sudah bangun, lalu tidur siang di jam 12 siang. Anak-anak menyukai keteraturan, kalau tidak tidur siang saja sorenya bisa tantrum, malamnya sayanya yang tantrum =P

3. Berikan Anak Aktifitas 

Ini yang saya syukuri, karena anak saya masih bisa mengikuti kelas offline dengan guru private. Otak anak juga butuh distimulasi, kmereka sama halnya dengan orang dewasa, kalau otaknya tidak dipakai, bagaimana mau berkembang, apalagi mereka masih anak-anak, otaknya masih berkembang luas. Banyak hal yang harus kita kenalkan. Rutinitas bertemu guru, belajar sambil bermain adalah aktivitas yang mereka butuhkan agar tidak bosan dan mengurangi tantrum. 

4. Me time Ibu. 

Mungkin dalam seminggu bisa dihitung kejar-kejaran waktu. Tapi sesekali me time butuh diselipkan. Taruh gadget juga lebih seru sambil mendengarkan keheningan karena hari-hari sudah terlalu gaduh. Saat anak tidur siang dan saat bangun pagi adalah waktu me time saya, atau kalau kurang bisa saat sebelum tidur saya ulur sedikit waktu tidur malam saya.

5. Bangun Pagi dan Exercise. 
 
 Memang ya yang namanya exercise sendiri itu sulit banget dikerjakan. Apalagi lihat suami istri yang aktif berolahraga bersama, naik sepeda atau yoga bersama, rasanya memang dibutuhkan partner yang sefrekuensi untuk bisa olah raga bersama. hal ini belum rutin saya lakukan sama sekali, terlebih sudah hampir bulan puasa, jadinya makin deh ada alasan buat memulai. Padahal tubuh jadi enak banget kalau meluangkan waktu 15 menit saja untuk berolahraga. Tapi setidaknya saya konsisten untuk bangun pagi dan terus mencoba bangun setidaknya pukul 5 pagi. Semakin pagi, otak semakin segar untuk memulai pekerjaan yang menanti.

6. Nonton! 
 
Senjata ampuh kalau lagi mati gaya. Sebenarnya saya bukan orang yang hobi nonton, apalagi KDrama. Pada akhirnya mengunduh netflix dan ujung-ujungnya semua orang akan nonton KDrama pada waktunya. Sepanjang tahun kemarin, saya baru memulai menonton di akhir tahun, di saat udah mentok, otak gatau lagi harus ngapain. Baru segelintir tontonan Kdrama yang saya tonton dan sepertinya saya bukan orang yang harus punya tontonan. Saat ini saya belum ada waktu lagi menonton, walaupun sudah ada playlist.
 
Enam hal itu yang bisa membuat saya tetap normal, tapi semuanya atas izin Tuhan YME dan obat mujarabnya kedua anak-anak saya y

Rabu, 16 Desember 2020

Ketuban Pecah DiniBedrest Dua Minggu

 

Kehamilan yang bahagia adalah dambaan setiap Ibu hamil. Tapi jatuh bangun yang terjadi di kehamilan kedua saya membuat saya jauh dari kata bahagia. Ada saja masalah yang mengganggu fikiran, dari masalah hubungan sampai masalah drama asisten rumah tangga. 

Momen kehamilan tersebut tidak akan pernah terlupakan. Jujur, kehamilan kedua ini tidak  terencanakan, karena si sulung baru berusia 1.5 tahun. Baru saja saya belajar menjadi Istri dan Ibu, tiba-tiba saya akan menjadi Ibu dari dua anak. Sungguh saya bingung dan stres.

Setelah melewati fase dimana saya tidak terima dengan kehamilan ini, saya memilih untuk selalu berpikir positif dan lebih mempelajari lagi tentang melahirkan yang minim trauma atau biasa disebut Gentle Birth.

Melahirkan anak pertama terdahulu, saya masih sangat minim ilmu, saya terjebak untuk melahirkan secara operasi caesar, dengan masalah serupa, yaitu ketuban pecah dini diusia kandungan yang memang sudah cukup. Tapi dengan pengalaman tersebut, menyisakan trauma berarti karena pemulihan yang sangat lama dan sakit sekali.

Saya bertekad untuk melahirkan secara normal atau popular dengan nama Vaginal Birth After Caesarian(VBAC). Banyak upaya yang saya lakukan. Membaca artikel-artikel seputar kehamilan dari https://id.theasianparent.com/ , menimba ilmu dari para ahli, berolah raga (prenatal gentle yoga), mencari dokter atau bidan yang terbaik, dan tidak lupa utamakan berdoa.

Semua usaha tersebut runtuh ketika ketuban saya pecah dini atau disingkat KPD. Hingga detik dimana ketuban saya pecah, saya masih ingin mengusahakan supaya saya tidak lagi berada di kamar operasi dengan tetap mencari info seputar KPD, walaupun ini bukan pertama kali saya hadapi. Saya membaca di artikel The AsiantParent dan membayangkan melahirkan dengan indah dan terus berdoa agar usaha-usaha saya membuahkan hasil.

Cerita berawal dari bulan ke tujuh kehamilan, saya sudah kedatangan Asisten Rumah Tangga(ART) baru untuk mambantu saya, tapi tidak sampai satu bulan ART minta pulang. Lalu memasuki usia kehamilan 8 bulan, masalah besar datang dan tiba-tiba saya mengalami pecah ketuban, padahal usia kandungan baru 33 minggu dan berat janin baru 2.2 kilogam. 

Beruntung, pecah ketuban yang saya alami terjadi saat saya sedang mengantri dokter kandungan di sebuah klinik bidan. Dokter pun bergegas merujuk saya ke salah satu rumah sakit besar di Jakarta Pusat yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal kami di Jakarta Timur, khawatir saya harus melahirkan dan bayi yang saya kandung belum matang dan butuh NICU. 

Klinik bidan tersebut merekomendasikan seorang dokter fetomaternal dan tetap mendampingi saya hingga masuk ke IGD. Bersyukur, bidan dan dokter tersebut selalu membuat kami tenang dan memberikan kabar baik. Bahwa saya tidak harus melahirkan saat itu juga dan masih bisa mempertahankan kehamilan dengan syarat saya harus bedrest total. 

Kenapa saya masih bisa mempertahankan kehamilan saya? Ternyata ketuban saya sangat banyak dan pecah ketuban yang saya alam itu hanya merembes. Padahal yang terjadi, celana saya sudah basah kuyup tapi hasilnya tidak ada kebocoran signifikan, semua masih normal dan baik-baik saja. 
Tidak lama saya dirawat di Rumah Sakit, saya pulang dan menjalani bedrest, minum obat dan harus terus minum air mineral supaya ketuban saya bisa selalu normal atau seimbang. 

Saya juga mencari tahu air mineral apa yang bagus untuk air ketuban saya, percaya atau tidak, saya mengonsumsi air mineral dengan pH tinggi, walaupun kata dokter sama saja, tapi saya percaya, itu membuat ketuban saya selalu setabil, asalkan saya tidak banyak bergerak yang akan mengakibatkan ketuban saya akan rembes lagi. 

Hari-hari bedrest saya lalui dengan tidak nyaman. Si sulung tantrum hebat karena melihat saya hanya berbaring, padahal kami biasa melakukan kegiatan bersama-sama seharian. Ia sempat sakit dan membuat saya dilema, apa semestinya saya melahirkan segera dan kembali bermain bersamanya, sedangkan targetnya, saya bisa mempertahankan hingga 37 minggu atau setidaknya satu bulan hingga bisa melahirkan secara normal. 

Dokter pun menyuruh saya untuk rajin kontrol setidaknya seminggu sekali. Tapi, mempertahankan sebulan itu tidak mudah. Terkadang ketuban saya masih rembes karena saya harus bergerak. 
Bedrest dengan kodisi KPD itu badan pegal-pegal, harus sering ganti baju karena basah, tidur dialasi perlak, tidak bisa buang air kecil di kamar mandi jadi harus memakai pospak, apalagi jika sedang kontrol ke dokter.

Akhirnya kami menyerah di 35 minggu kehamilan, terhitung sudah dua minggu saya bedrest dengan kondisi keluarga sudah kerepotan. Pikiran suami terpecah, antara pekerjaan, keadaan saya dan si sulung. Badan saya sudah sakit tidak karuan lama-lama saya menyerah. Si sulung juga menjadi bahan pertimbangan terberat kami untuk melahirkan segera.

Minggu ke 35 tersebut saya berangkat ke Rumah Sakit untuk konsultasi ke dokter agar dijadwalkan operasi jika berat janin sudah cukup bagus. Dokter sangat kooperatif dan memastikan bahwa bayi kami sekarang sudah jauh lebih baik daripada 2 minggu lalu. Saya sudah melakukan beberapa kali penyuntikan pemantangkan paru si bayi. Rasanya tidak enak, Bun! Seperti kesemutan sebadan, untungnya hanya beberapa menit. 

Saat kontrol tersebut beratnya  sudah di angka 2.7 kilogram. Operasi akan dilakukan empat hari setelahnya, itu berati masih ada waktu memaksimalkan keadaan janin,Walaupun sedih dan sempat menangis ketika kembali ke ruang operasi, kami tetap bersyukur, anak kedua kami lahir seberat 2.99 kg dan matang sempurna tidak seperti yang kami bayangkan sebelumnya. Usaha kami tidak sia-sia, kini Ia sudah berusia 13 bulan. 

Semua pengalaman ini bisa menjadi pelajaran agar segala hal di rumah tangga harus dikomunikasikan bersama. Jangan sampai seorang Istri atau Ibu  berjuang sendiri tanpa support system. Hal paling penting adalah anak lahir dengan sehat, Ibu melahirkan dengan selamat dan bahagia menyambut buah hatinya dan jangan sampai menyesal dikemudian hari.  




Rabu, 06 Mei 2020

5 Kesalahan Saya Dalam Menjadi Ibu

 Jeng jeng jeng.. 

*zoom in*

Ibu 2 anak mau pengakuan dosa. Dosa yang mungkin beberapa Ibu merasa, IHH PARAH BANGET LO, atau ada yang merasa, YEE BIASA AJA KALIIKK AHH, GUE LEBIH PARAH KOK. wkwkkwk

Ini pure IMHO aja ya, bukan berarti saya merasa punya standart tertentu, hanya saja, setelah (baru) 3 tahun Menjadi Ibu, saya merasa saya tidak becus.

1. Lalai dalam MASAK dan MPASI

MPASI anak pertama saya terbilang GAGAL TOTAL karena dia GTM. Saya terlalu percaya diri karena berat badannya sudah over alias kegendutan. Saya tidak terlalu mengatur pola makannya. Jika dalam sehari anak saya tidak mau makan MPASI, maka saya santai Dan tidak pernah memaksakan. 

2. Tidak Menjadi Diri Sendiri

Saya pernah tergabung dalam sebuah grup Ibu-ibu di awal Saya Menjadi seorang Ibu. Menurut Saya, lingkaran Ibu-ibu yang Saya ikuti, terlalu banyak persaingan Dan itu jadi membuat Saya kecil hati. Namun, ketika anak saya sudah mau menginjak usia 2 tahun, saya keluar Dan merasa sangat lebih baik, karena tidak lagi memiliki acuan tertentu atau melihat perkembangan anak lain. Saya hanya fokus terhadap perkembangan anak saya saja, dan disitu saya semakin percaya diri menjadi Ibu. 

3. Berkomentar Tentang Ibu-ibu lain

Saya merasa anak Saya tidak memiliki masalah tumbuh kembang seperti beberapa anak lain, disitu mungkin Saya merasa jumawa Dan berkomentar yang tidak enak kepada Ibu lain, padahal setelah itu Saya jadi sangat menyesal. Sekarang Saya selalu berpikir bahwa setiap anak itu pintar Dan memiliki keistimewaan termasuk anak-anak Saya. 

4. Tidak Menjadi Ibu Rumah Tangga Yang Produktif

Terkadang Saya menyesal, kenapa waktu anak pertama, Saya sok "hemat" Dengan tidak memakai jasa ART. Padahal, kalau saya punya ART, Saya bisa fokus untuk membersamai tumbuh kembang anak dan lebih banyak mengajarkan dia sensory dan berbagai macam hal. Tapi Ada baik nya jika Saya tidak terlalu bergantung dengan ART, karena sekarang Saya bisa mengurus 2 anak sendirian. 

5. Mengenalkan Anak Pada Later Gadget Terlalu Dini.

Gadget termasuk juga televisi, dulu Kio sudah menonton baby TV sejak bayi, Ia banyak mendengar bahasa inggris yang bukan bahasa Ibu, apalagi ayahnya juga ikut mengajarkan bahasa daerahnya, akhirnya Kio bingung bahasa dan baru bisa berbicara banyak ketika usia diatas 2 tahun saat Ia sudah memiliki adik. 

Sepertinya banyak lagi kesalahan yang Saya buat, namanya juga belajar ya jadi Ibu dan semoga bisa menjadi pembelajaran untuk membesarkan adik nya Kio nanti. 

Optimis, Tuhan Pasti Menolong Umatnya

 Terjarang banget suami duduk bareng terlebih buat berbincang santai, apalagi saat pandemik ini, wajah beliau kenceng terus. Palingan duduk bareng kalau di mobil sebelahan karena beliau lebih suka "me time'. Siapa juga yang tidak stress dengan keadaan seperti ini. Kantor beliau juga terdampak krisis, penjualan produk dimana-mana kesulitan, karena yang laku saat ini hanya kebutuhan pokok dan medis.


Saya yang biasanya menyukai social media, sekarang muak dan memilih untuk mengisi waktu membersamai anak-anak. Pak suami duduk dan menanyakan tentang biaya sekolah Kio apakah masih terjangkau jika kami hanya bisa mengandalkan gaji bulanan suami yang juga punya cicilan bulanan. Tentu, saya tahu diri, memilih sekolah yang memang sesuai kantong, bukan hanya buat gengsi tapi memang prioritas untuk kenyamanan dan pendidikan anak. Kalau difikir, saya kan tidak pakai jasa ART menginap, jadi menurut saya masih ada sedikit budget untuk mengalokasikan dananya ke pendidikan. Beruntungnya suami percaya dengan pilihan istrinya yang juga masih mencari sekolah yang pas. 

Lalu suami berujar untuk bisa berhemat atau memininalisir pengeluaran dan disini saya bingung. LOL. Diantara kebimbangan atau ketidak jelasan ini, pikiran ibu-ibu seperti saya yang minim pengetahuan ini selalu ada secercah rasa OPTIMIS.. 

OPTIMIS untuk negara dan dunia ini kembali bangkit karena saya percaya kuasa gusti ALLAH. Semua yang di dunia ini milik NYA, kita hanya bisa pasrah dan selalu positive thinking bahwa TUHAN TIDAK AKAN MEMBERI COBAAN MELAMPUI BATAS KEMAMPUAN UMATNYA. Walaupun ilmu saya cetek, Saya percaya Tuhan tidak tidur dan pasti akan menolong. 

OPTIMIS semua akan kembali pulih segera. Kio bisa sekolah tahun ajaran besok. Optimis pekerjaan suami dan semua sektor usaha akan kembali baik, OPTIMIS semua orang akan kembali sehat sehat and this too shall pass.. 



Rabu, 15 April 2020

Sebuah Curhatan Di Masa Pandemik

 

Hari ini adalah hari ke 33 saya di rumah saja self quarantine di masa pandemik COVID-19. Perasaan campur aduk menyelimuti saya setiap hari. Ada banyak rencana di tahun 2020 ini. Tahun kedua saya menjalani sebagai Ibu 2 anak tanpa asisten. Baiknya, Kio menjadi anak yang dewasa, punya adik, termasuk tidak banyak rewel untuk minta keluar rumah. Ia sudah tau tentang virus yang ada di luar sana. Sesekali jika ayahnya di rumah, Ia minta keliling hanya untuk sekedar putar-putar lalu drive thru makanan cepat saji.

Pagi hari, tidak lagi sama, tidak lagi ada rencana untuk hari ini akan apa dan bagaimana, dimana jika jenuh datang, kami sekeluarga bisa pergi ketempat piknik untuk menghirup udara segar atau sekedar makan bersama di sebuah restaurant. Ketika lelah datang, Saya kerap datang kerumah Ibu untuk meminta bantuan, sebentar bisa beristirahat dengan rutinitas yang itu-itu saja. Tidak lagi ada hasrat dan rencana untuk kami dan anak-anak sampai pandemik ini berakhir.
Kio yang rencananya akan saya sekolahkan di tahun ajaran besok, saya jadwalkan untuk trial sekolah di bulan April ini, sebelum bulan ramadhan tiba. Tapi minggu depan ramadhan akan datang, semua sekolah tutup dan pandemik ini entah sampai kapan, lalu apakah Kio akan tetap sekolah di tahun ini? Kami belum tahu. 

Hari dimana tidak ada pandemik saja, rasa bosan kerap datang. Lelah pasti, tapi selalu ada hasrat dan keinginan, hal apa yang bisa saya lakukan untuk mengisi kekosongan otak saya yang tetiba bisa freeze karena rutinitas yang itu-itu saja setiap harinya.

Di pandemik ini saya kerap menangis, menangis karena tiba-tiba tidak enak badan, ketakutan karena jika saya sakit, siapa yang akan mengurus kedua anak saya. Bahkan, jauh dari Ibu saya, tidak akan ada yang bisa merawat saya sakit. Naudzhubillahminzalik. Berikan kami sekeluarga sehat-sehat ya allah.

Dibalik kepenatan ini, saya tak lantas terpuruk, berbincang di chat dengan beberapa sahabat, cukup membuat saya kembali tersenyum. membahas issue yang sekarang beredar. Memberi sedikit kebahagiaan pada si kecil dengan membelikan mainan untuk membayar kebosanannya. Berbelanja sedikit kebutuhan seperti kopi, cemilan, bahkan daster baru dan gelas kaca cantik untuk menemani hari-hari yang menjenuhkan.

Sesekali, saya kirimkan sedikit makanan untuk teman dekat saya, anggap saja sebuah traktiran karena menemani di kejenuhan saya.  memberikan sedikit tip untuk ojek online yang kerap menerima orderan saya, atau membantu para pedagang yang lewat depan rumah dengan membeli dan memberikan uang kelebihannya. Sederhana namun hanya itu yang saya bisa lakukan dan membuat saya bahagia.

Perasaan rindu yang sangat besar dengan Ibu yang hanya berjarak 7 km hanya saya tebus dengan doa, doa agar saya segera bisa bertemu dengan beliau, orang yang selalu mendengarkan segala keluh kesah saya dan mengajarkan saya untuk selalu berserah sama Allah.

Hidup saya bukanlah hidup yang berat, mungkin bahkan ada orang-orang yang menginginkan hidup seperti saya. Ada pelajaran besar di masa pandemik ini, mereka yang menanyakan kabar dan sedikit berbincang adalah mereka yang betul-betul peduli dengan saya dan saya tidak akan menyianyiakan mereka. Tapi jika sebuah kesalahan saya yang dilihat besar dan berlebihan bagi orang dan itu membuat mereka tidak menyukai saya, maka itu bukan lagi urusan saya, yang saya pertanggung jawabkan di akhirat nanti adalah bagaimana sikap saya terhadap orang kain, dan saya merasa sudah memberikan apa yang saya bisa dengan segala keterbatasan saya. Apa yang mereka anggap tidak suka dengan saya, biarlah urusan mereka dengan Allah.

Mengisi kekosongan ilmu, saya kerap mengikuti kajian online sebagai ikhtiar saya menjadi manuasia yang lebih baik, terlebih saya adalah ibu. Jadi ketika orang lain tidak menyukai saya, hanya Allah yang berhak menilai saya. Semoga Saya bisa menjadi manusia yang lebih baik ketika pandemik ini berakhir. Aamin